Gawat !!!! Dugaan Pungli??? Peserta Didik SMAN 1 Tumijajar Bayar Uang Komite Rp. 3.750.000.

Tulang Bawang Barat, Lampung  -  Pungutan liar (Pungli) di sekolah menjadi permasalahan yang meresahkan di masyarakat. Fenomena ini terjadi ketika oknum-oknum tertentu di lingkungan sekolah melakukan berbagai cara terhadap siswa, orang tua, atau bahkan pihak lain yang terkait dengan kegiatan pendidikan.
Pungli di lingkungan sekolah tidak hanya merugikan masyarakat secara finansial, tetapi juga dapat merusak moralitas dan integritas di dunia pendidikan.

Kepada Awak Media  Sugiyono selaku penerima kuasa/aduan dari beberapa wali siswa menyampaikan bahwa ada dugaan pungli dan dugaan penyimpangan penggunaan anggaran dana BOS di SMAN 1 Tumijajar, kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba ) provinsi Lampung. Ia mengaku dapat aduan atau surat kuasa dari beberapa wali siswa di sekolah tersebut, untuk mengadukan/melaporkan permasalahan tersebut kepada Aparat Penegak Hukum (APH) agar perkara tersebut diproses secara hukum.

Atas aduan wali siswa tersebut akhirnya Sugiyono segera mengadukan/melaporkan perkara tersebut ke Kabareskrim Mabes Polri tertanggal 20 April 2024,  aduan/laporan tersebut disposisi di polres Tulang Bawang Barat (Tubaba) Lampung. 

WWW.ARTHA-NEWS.COM Sugiyono menuturkan, bahwa penyelidik polres Tubaba sudah memintai keterangan lebih kurang 10 pihak terkait peristiwa tersebut termasuk Sugiyono, tinggal kepala sekolah dan pengawas korwil Cab yang belum dipanggil," tutur Sugiyono.
Sugiyono pun mengaku, pihaknya juga sudah dimintai keterangan oleh penyelidik Polres Tubaba pada tanggal 30 September 2024. 

"Saya berharap polres Tubaba Profesional dalam  menangani perkara ini, Polres Tubaba saya harap bisa membedakan antara Menerima Sumbangan dan meminta sumbangan, dalam hal ini saya menduga pihak SMAN 1 Tumijajar pengawas dan komite berkolaborasi kerjasama  menggiring mengumpulkan  wali siswa untuk dimintai  sumbangan dengan cara mengisi formulir pembayaran komite sehingga wali siswa terkena mental, akhirnya mau tidak mau mau tetap menuruti pihak SMAN dan komite karena hawatir proses pendidikan anaknya terganggu" kata Sugiyono.

Sugiyono menyayangkan peristiwa tersebut, karna gedung dan fasilitas milik negara dibuat seolah semi Yayan, dengan meminta sumbangan didalamnya yang besarnya dan jangka waktu nya sudah ditentukan, yang mana peristiwa tersebut seolah mencederai program pemerintah wajib belajar 12 tahun yang sudah dibiayai oleh negara. sehingga pihak wali siswa dirugikan sebagai konsumen pendidikan baik secara financial maupun mentalnya.

Dwi Amilono S.H., Ketua Umum (Ketum) LPKSM KRESNA CAKRA NUSANTARA kepada Awak Media memberikan tanggapan terkait problematika pungutan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Ia berpendapat peristiwa tersebut bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Dwi Amilono menjelaskan, bahwa Larangan pungutan disekolah negeri diterangkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, bahwa satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan dasar.
 "di lapangan yang terjadi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah tetap memberlakukan pungutan tersebut dengan berbagai dalih dan argumen bahwa bukan satuan pendidikan yang melakukan pungutan namun komite sekolah atas kesepakatan dengan orang tua/wali murid yang kemudian diberlakukannya pungutan tersebut dalam bentuk sumbangan" kata Dwi Amilono.

Lanjut Dwi Amilono, Maraknya pungutan di satuan Pendidikan terkait kebutuhan realisasi program-program, renovasi dan pembangunan gedung, pembelian buku pendamping dan seragam sekolah, pada praktiknya dilakukan melalui pungutan liar. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pengaduan masyarakat terkait pungutan tersebut kepada LPKSM KRESNA CAKRA NUSANTARA.

Pengaduan mengenai pungutan dimaksud menunjukkan bahwa adanya satuan pendidikan di beberapa kabupaten yang dilaporkan oleh orang tua/wali murid berkenaan dugaan 
maladministrasi penyimpangan prosedur dengan beberapa hal diantaranya, adanya sumbangan yang ditentukan jangka waktu dan jumlahnya yang memberatkan orang tua/wali murid (pungutan liar), pembelian seragam sekolah di satuan pendidikan yang nominalnya memberatkan orang tua/wali murid, pengadaan/pembelian buku pendamping siswa (LKS) yang memberatkan orang tua/wali murid, bahkan adanya intimidasi kepada orang tua/wali murid yang menyampaikan laporan bahkan ada yang sempat viral di Kebumen Jawa Tengah.

Lebih lanjut Dwi Amilono menjelaskan, Sebagaimana Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, bahwa pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. Sedangkan sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orang tua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.

Pada umumnya, satuan pendidikan menyangkal melakukan pungutan, dengan dalih yang melakukan pungutan adalah komite sekolah. Selanjutnya komite sekolah menyampaikan bahwa yang terjadi adalah sumbangan yang telah mendapatkan kesepakatan dalam rapat pertemuan orang tua/wali murid untuk dapat merealisasikan program-program dan kegiatan yang telah disampaikan oleh kepala sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah selaku pemimpin, pemegang kewenangan dalam satuan pendidikan juga turut andil dalam terjadinya pungutan di satuan pendidikan yang dipimpinnya. 

"Umumnya yang dilakukan, awalnya kepala sekolah menyampaikan dalam penyampaian program-program dan prestasi-prestasi sekolah, yang tujuannya untuk menarik rasa memiliki bersama oleh orang tua/wali murid, selanjutnya komite sekolah menyampaikan kepada orang tua /wali murid sehingga berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang dijadikan dasar penarikan sumbangan dengan jumlah yang ditentukan besarannya dan waktu pembayarannya yang terjadi di satuan pendidikan tersebut," terangnya.

Lanjut Dwi Amilono menegaskan , Komite sekolah sebagaimana ketentuan Pasal 3 Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah dapat menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.

 Masyarakat dalam hal ini sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2), yang dimaksud masyarakat adalah peserta didik, orang tua atau wali peserta didik. Selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan berbentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan.


"Tidak semua masyarakat berani melapor mengenai hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan dikarenakan kekhawatiran. Sistem pendidikan nasional telah menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik, khususnya layanan dasar di bidang pendidikan" ujar Dwi Amilono.

Masih menurut Dwi Amilono, berdasarkan ketentuan Pasal 181 huruf a, huruf c, dan huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, bahwa pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan, melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik, dan melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, dalam Pasal 198 huruf a, huruf c, dan huruf e, dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan dan mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung, melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.

Berdasarkan ketentuan tersebut telah jelas dan terang bahwa jual beli terhadap buku pendamping (LKS) maupun seragam di satuan pendidikan tidak diperbolehkan, karena secara langsung maupun tidak langsung selain mencederai integritas satuan pendidikan tanpa disadari hal ini sangat mengganggu psikologis siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.

 Keadaan psikologis inilah yang acap kali dikesampingkan oleh satuan pendidikan yang melakukan penjualan buku dan seragam sekolah, dengan dalih tidak memaksa atau tidak ada paksaan, namun ketika seorang murid tidak memiliki buku maupun seragam yang berbeda dengan yang telah dimiliki oleh siswa lainnya yang membeli di satuan pendidikan, tetap ada suatu tekanan psikologis dalam pikirannya.

" Inilah mengapa menjadi perhatian penting bagi satuan pendidikan apabila akan melakukan penjualan buku pendamping tertentu dan seragam di satuan pendidikan, seragam dalam hal ini dapat dikecualikan untuk seragam khas sekolah seperti batik khas dan seragam olah raga tentunya," terang Dwi.

Menurut Dwi Amilono, Kewenangan merupakan satu landasan seseorang untuk dapat dibenarkan melakukan tindakan atau perbuatan dalam bentuk apapun, kebijakan haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Ditulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, memiliki makna bahwa tindakan dalam bentuk apa pun dilakukan oleh siapa pun harus sesuai dengan asas legalitas, terlebih kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pendidikan.

Problematika sumbangan, pungutan, pengadaan buku pendamping dan seragam di satuan pendidikan sebagaimana prinsip negara hukum dan asas legalitas, bahwa kewenangan melakukan tindakan hukum di satuan pendidikan maka harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan didasarkan atas kehendak para pihak, terhadap satuan pendidikan yang melakukan penarikan sumbangan, yang ditentukan jumlah dan waktunya terhadap orang tua/wali peserta didik atas dasar kesepakatan, implementasinya memenuhi unsur nominal dan waktu yang ditentukan, dengan demikian pungutan dalam bentuk sumbangan dengan dalih kesepakatan tersebut bertentangan dengan aturan hukum yakni Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 9 ayat (1) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 jo Pasal 10 Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

"Yang menjadi penekanan bahwa, baik ketentuan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah terkait sumbangan di satuan pendidikan tidak boleh membebani dan melibatkan orang tua/wali murid yang tidak mampu secara ekonomi." Pungkasnya.

Demi keseimbangan isi berita nya awak media berusaha mencoba konfirmasi klarifikasi kepada pihak penyelidik polres Tubaba melalui pesan singkat WhatsApp pada nomor yang tertera pada surat undangan klarifikasi an. IPDA Chaidir jamin S.H., M.H.,namun sangat disayangkan meski  terlihat centang dua, IPDA Chaidir jamin enggan merespon pesan klarifikasi konfirmasi awak media.

Hingga berita ini di tayangkan IPDA Chaidir belum juga memberikan tanggapan.

Semestinya pihak kepolisian khususnya polres Tubaba bisa lebih terbuka dan responsif kepada publik terkait kasus yang sedang ditangani, demi menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia.

**(Dir/tim)**
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama